PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH DI LAHAN MARGINAL (TANAH MASAM)
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH DI LAHAN
MARGINAL (TANAH MASAM)
1.1
Lahan
Marjinal (Tanah Masam)
Hampir sebagian besar
dari luas total tanah yang tersedia di Indonesia (190.946.500 hektar) untuk
areal pertanian diklasifikasikan sebagai tanah Ultisols (47.526.000 hektar atau
24,89%), Histosols (24.158.000 hektar atau 12,65%), Oxisols (18.382.000 hektar
atau 9,63%), dan kompleks (sebagian besar Ultisols 56.426.000 hektar atau
29,55%). Tanah-tanah ini umumnya bereaksi masam dengan status Al tinggi,
kapasitas tukar kation dan kandungan unsur haranya rendah (Santoso, 1991;Mulyadi
dan Soepraptohardjo, 1975 dalam Atman,
2006).
Pada
umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada
tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar
bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan
pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara
alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60%
dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al.
2002). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang
dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi,
kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan
mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik
(Adiningsih dan Sudjadi 1993).
Dari luas
total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%)
merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004). Tanah tersebut didominasi
oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung
cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut
umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat
kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal (Abdulrachman et. al, 2008 ).
1.2
Permasalahan
Lahan Marjinal (Tanah Masam)
Ciri-ciri umum tanah
masam adalah nilai pH tanah rata-rata kurang dari 4; kandungan hara bahan
organik tanah (BOT) yang rendah; ketersediaan P dan kapasitas tukar kation
(KTK) tanah rendah; tingginya kandungan unsur Mn2+ dan aluminium reaktif (Al3+)
yang dapat meracuni akar tanaman dan menghambat pembentukan bintil akar tanaman
legum. Distribusi perakaran tanaman relatif dangkal, sehingga tanaman kurang
tahan terhadap kekeringan dan banyak terjadi pencucian hara ke lapisanbawah
(Hairiah, et al., 2005).
Menurut Hilman (2005) dalam Atman (2006), pada lahan kering
masam, masalah ketersediaan fosfat (P) menjadi kendala utama dalam meningkatkan
hasil. Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas
lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase
awal pertumbuhan tanaman yaitu akar-akar tanaman kurang berkembang sehingga
tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Fosfor dapat diikat kuat oleh Al
dan Fe pada tanah-tanah masam sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Serupa pula dengan
Hasibuan (2008) dalam Tambunan (2013)
memaparkan bahwa permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah
kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang
tinggi oleh Al dan Fe berakibat pada rendahnya hasil tanaman yang diusahakan.
Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara
sehingga tanah menjadi tidak produktif. Sumber kemasaman tanah sulfat masam
berasal dari senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen
dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut
menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk
padi tidak dapat tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalnya dianggap mampu mengatasi
permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam memiliki pH yang berfluktuasi
bergantung musim, maka ternyata pengapuran tersebut tidak efektif (Widjaja-Adhi,
1995).
1.3
Pengelolaan
Lahan Marjinal (Tanah Masam)
a. Mempertahankan
kandungan Bahan Organik Tanah (BOT)
Salah
satu indikator kualitas tanah adalah kandungan bahan organik tanah, selain
indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Walaupun
kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total
tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah
sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji kehandalannya dalam
memperbaiki kualitas tanah (Soegiman, 1982; Stevenson, 1994 dalam Suriadi et.al 2005).
Kandungan
bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam
mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan
organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume
tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi
tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang
air, menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik langsung air
hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986;
Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985).
Bahan
organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah,
dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan
kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson,
1994; Tisdall and Oades, 1982).
Dari
sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir partikel
membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil
eksresi tumbuhan dan hewan lainnya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000 dalam Suriadi et al., 2005). BOT
menyediakan energi bagi berlangsungnya aktivitas organism, sehingga
meningkatkan kegiatan organism mikro maupun makro di dalam tanah (Hairiah et
al., 2000).
Teknologi penggunaan
bahan amelioran telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas tanah sulfat
masam. Bahan organik (BO) dapat berperan sebagai sumber asam-asam organik yang
mampu mengontrol kelarutan logam dalam tanah ataupun berperan sebagai unsure
hara bagi tanaman. Asam-asam organik yang terdapat dalam BO mampu mengkhelat
unsur-unsur beracun dalam tanah sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tanaman.
Asam-asam organik mampu menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al
melalui mekanisme pengkhelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Arifin, dkk,
2009 dalam Tambunan, 2013). Berikut ini beberapa
cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kandungan bahan organik ;
1. Pengembalian
sisa panen
Jumlah
sisa panen tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam tanah berkisar 2-5
ton ha-1, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan bahan
organik minimum.
2. Pemberian
kotoran hewan
Pupuk kandang berasal
dari kotoran hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam atau juga
bisa kelelewar dan burung. Pengadaan kotoran hewan seringkali sulit dilakukan
karena memerlukan tenaga dan biaya transportasi yang banyak.
3. Pemberian
pupuk hijau
Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari
pangkasan tanaman penutup yang ditanam selama masa bera atau pepohonan dalam
larikan sebagai tanaman pagar. Beberapa jenis tanaman pagar dari kelurga
leguminosa membuktikan bahwa kaliandra memberikan hasil biomass tertinggi
dibanding jenis pohon lainnya.
b. Pengelolaan tanah dan air (soil and watermanagement) atau
Tata Air Mikro.
Pengelolaan
tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan
pengembangan pertanian dilahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi
untuk: 1) mencukupi
kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma
pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan
beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4)
mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan
dan saluran. Untuk memperlancar keluarmasuknya air pada petakan lahan
yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun, Widjaja-Adhi (1995)
menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di
sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro
mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air pada saluran kuarter
dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan
sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Subagyono et al.
(1999) menyatakan, pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan
air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah
pengolahan tanah selesai. Pencucian akan berjalan baik bila air cukup tersedia,
baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan
perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan
air pada saluran tersier bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2)
mengatur tinggi muka air pada saluran dan petakan, dan 3) mengatur kualitas air
dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan serta mencegah masuknya
air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro
bergantung pada tipe luapan air pasang dan tingkat keracunan (Suriadikarta,
2005).
c. Penggunaan
Varietas yang Adaptif
Tanaman
yang dapat diusahakan di lahan sulfat masam antara lain adalah padi, palawija
(jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), sayuran (cabai, kacang
panjang, kubis, tomat, dan terung), buahbuahan (rambutan, nenas, pisang, jeruk,
nangka, dan semangka) dan tanaman perkebunan kelapa dan lada (Suwarno et al. 2000).
Tanaman tersebut tumbuh baik pada tanah sulfat masam potensial dengan sistem
tata air mikro seperti saluran drainase dan ameliorasi tanah.
Padi
sawah mempunyai daya adaptasi yang lebih baik di lahan pasang surut khususnya
tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Menurut Suwarno et
al. (2000), sampai saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang cocok dengan
lahan pasang surut, varietas yang sesuai untuk lahan sulfat masam adalah
Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, dan
Dendang. Untuk tanah sulfat masam aktual di mana kadar Al dan Fe sangat tinggi,
lebih sesuai ditanam varietas lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang,
Gelombang, dan Bayur. Mengingat kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam
maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanah.
Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat
masam adalah Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Hasil kedelai berkisar 1,50–2,40
t/ha, kacang tanah 3,50 t/ha, kacang hijau 1,20 t/ha, dan jagung Arjuna 3–4
t/ha. Pada tanah sulfat masam potensial, selain perlu dipupuk, tanaman perlu
pula diberi kapur sesuai dengan takaran anjuran (Suriadikarta, 2005).
Tanaman
buah-buahan seperti pisang, nangka, rambutan, dan jeruk ditanam di pekarangan
pada guludan. Di lahan pekarangan lahan sulfat masam Karang Agung Ulu, tanaman
sayuran mampu memberikan pendapatan lebih besar daripada tanaman pangan, yaitu 65,40%
untuk sayuran dan 34,60% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990). Hasil
tomat varietas Ratna dan Intan masing-masing mencapai 18,54 dan 13,40 t/ha,
sedangkan petsai varietas No. 82-
157 sekitar 15,60 t/ha (Sutater et al. 1990). Bawang merah varietas
Ampenan dan Bima juga dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam
dengan potensi hasil masing-masing 6,40 dan 6,15 t umbi kering/ha (Sutater et al. 1990).
Jenis
kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, karena memiliki daya adaptasi dan
toleransi yang baik terhadap lingkungan. Kelapa dapat ditanam secara tumpang
sari dengan kopi, palawija, dan hortikultura atau secara monokultur pada guludan.
Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah, produktivitas kelapa masing-masing
berkisar 7–18 butir dan 10–17 butir/pohon/periode petik. Pupuk diberikan sesuai
dengan umur tanaman, paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun sedangkan untuk lada varietas
Petaling I, Petaling II, dan Lampung Daun Kecil dapat tumbuh dan beradaptasi
baik di lahan potensial maupun sulfat masam aktual Karang Agung Ulu. Pada lahan
potensial, pengapuran dengan takaran 2−3 kg/ tanaman dapat meningkatkan
produksi buah sampai panen ketiga (panen pertama sekitar 3 tahun) (Suriadikarta,
2005).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A. Dahria, dan A. Mulyani., 2008. Strategi dan
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Balai
Besar Penelitiaan dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Litbang Pertanian
Bogor. Bogor.
Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam
lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan
kering masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Atman, 2006. Pengelolaan Tanaman Kedelai di Lahan Kering Masam.
Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatra Utara. Jurnal Ilmiah Tambua
Vol. V. No.3 281-287 hlm.
Hairiah K, Widianto, Sri
Rahayu Utami, Didik Suprayogo, Sunaryo, SM sitompul, Betha Lusiana, Rachmat
Mulia, Meine van Noordwijk dan Georg Cadisch. Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi. ICRAF. Bogor.
Hasibuan,
B.E. 2008. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Marginal. USU. Medan.
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik
dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1−32. Dalam Prosiding
Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subagyono, H., I.W. Suatika, dan E.E. Ananto. 1999. Penataan
Lahan dan Tata Air Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera
Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm.
1−5.
Subiksa, I.G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem
Usaha Tani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Risalah Seminar Penelitian Proyek Swamps II. Bogor, 19−21 September 1990. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 31−38.
Suriadikarta, D.A., 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk
Usaha Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Jurnal Litbang Pertanian Vol. 24 No.1.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W.
Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. hlm. 183−238. Dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya
hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah Hasil Penelitian. Proyek Swamps-II.
Bogor 19–21 September 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
hlm. 275–277.
Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi
pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan sistem usaha tani terpadu.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung, 25–27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
hlm. 176−186.
Tambunan, S.W, Fauzi, dan P. Marpaung., 2013. Kajian Sifat Kimia
Tanah, Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Tanah Sulfat Masam Potensial akibat
Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Pupuk SP-36. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatra Utara. Jurnal Agroteknologi Vol. 1 No. 4.
Komentar
Posting Komentar